Rakyat Pesisir Sirenja, Hidup Diantara Puing dan Langganan Banjir Rob

Rakyat Pesisir Sirenja, Hidup Diantara Puing dan Langganan Banjir Rob
Kunjungan Masykur (Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dari Partai NasDem Selasa (30/10) di wilayah Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. (Ist)
DONGGALA- Sore itu, sebelum bencana gempa besar datang dengan kekuatan 7,4 Skala Richter (SR), 28 September 2018, Kacamatan Sirenja ini terbilang salah satu yang tumbuh baik di Kabupaten  Donggala.  Sumber penghidupan warganya sebagian besar dari hasil pertanian  dan perikanan laut.

Rakyat Kecamatan Sirenja adalah masyarakat agraris. Namun sekejap wilayah jadi porak poranda. Terparah ada di Desa Tanjung Padang, Tompe dan Lende Ntovea. Parah karena tiga desa itu kini jadi terendam banjir Rob.  Sementara di desa lainnya rumah warga rusak terpapar gempa.

Sore itu sebelum gempa dan tsunami  meratakan pemukiman, warga sudah waspada karena pusat gempa sebelumnya berada di wilayah ini dengan kekuatan magnitude  5,3 SR.  Makanya tidak banyak korban jiwa. Tercatat 10 orang warga meninggal akibat terhimpit reruntuhan bangunan. Sebanyak 5 orang meninggal di Desa Lende Ntovea, 3 orang di Desa Sipi dan 2 orang di Desa Tanjung Padang di Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala.

Pas gempa besar datang disertai dengan dentuman letusan di sekitaran pantai seketika itu juga sebagian warga yang masih berada dirumah secepat kemampuan mereka lari meninggalkan rumah. Sebelumnya, sebagian besar warga terutama perempuan, orang tua dan anak-anak sudah mengungsi saat gempa pertama terjadi.

Akibat gempa dan tsunami tidak banyak yang disisakan. Pemukiman padat dan ramai dengan aktifitas kenelayanan warganya tinggallah puing-puing.

Satu bulan lebih pasca gempa besar, tetap masih seperti sama pemandangannya sesaat setelah bencana besar Jum'at jelang magrib. Kini, hanya puing yang nampak dipungut para pemilik rumah, sembari mengangkut sisa puing rumah yang masih bisa dimanfaatkan, terutama yang dapat digunakan mendirikan pondok darurat sementara.  Karena memang faktanya hanya sebagian yang mendapat bantuan tenda. Tenda hanya berguna di masa-masa kritis.  Sesudahnya tidak baik untuk kesehatan  jika dalam waktu lama hidup di tenda dengan beralaskan  tanah.

Rakyat Pesisir Sirenja, Hidup Diantara Puing dan Langganan Banjir Rob
Korban bencana di wilayah Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. (Ist)
Namun berbeda dengan warga korban daerah lainnya, warga pesisir pantai Sirenja kini mau tak mau harus  "bersahabat" dengan masalah bawaan baru pasca bencana gempa dan tsunami yakni banjir Rob.

Banjir Rob tiap hari menerjang dan menggenangi Dusun 1 dan 3 Desa Tompe, Dusun 1, 2 dan 3 Desa Tanjung Padang dan Dusun 1, 2 dan 3 Desa Lende Ntovea.

Di tiga Desa tersebut sebanyak 773 Kepala Keluarga (KK) tidak lagi memiliki rumah tinggal. Masing-masing 342 KK di Desa Tanjung Padang, 174 KK di Desa Lende Ntovea dan 275 KK di Desa Tompe. Kini, sebagian mereka hidup di tenda pengungsian, sebagian lagi berinisiatif secara swadaya membangun hunian sementara (Huntara) dari sisa puing bangunan rumah yang bisa dimanfaatkan.

"Kami harus bangkit, menunggu Huntara dari pemerintah sampai kapan belum ada kejelasan. Tidak mungkin kami terus menerus tidur di tenda seadanya. Sudah tidak layak lagi karena malam hari pasti air laut naik menggenangi lapangan dan tenda pengungsian. Lapangan bola Desa Tompe Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala dijadikan tempat Huntara versi warga," ujar Riswan.

Namun menurutnya, akibat genangan air laut dan hujan di lokasi pengungsian ini bisa jadi sumber penyakit seperti malaria dan penyakit lainnya.  Sehingga tugas bersama selanjutnya bersama warga dihimbau jaga lingkungan sekitar, terutama masalah sampah dan limbah lainnya.

Tasrifin Rajamusu, tokoh masyakat, menyarankan pemerintah daerah perlu segera memutuskan soal lokasi hunian ratusan KK yang tidak punya rumah. Kini muka air lau naik, sekitar 150 meter pesisir daratan di Desa Tompe hilang. Ada beberapa lokasi yang bisa dipilih.

“Asal tidak jauh dari pantai yang penting aman dihuni. Ya, jangan jauhkan nelayan  dari laut karena sandaran hidup kami hanya di laut,” katanya.

Ia melanjutkan, apalagi tidak lama lagi datang angin  barat, bulan November-Desember. Hal demikian butuh perhatian sejak dini. Pada saat itu air laut akan naik tinggi sampai jauh ke wilayah daratan.

“Jadi yang perlu disegerakan tata hunian warga dan penuhi alat produksi nelayan, agar bisa kembali beraktifitas seperti semula,” jelasnya. [bergelora]


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Rakyat Pesisir Sirenja, Hidup Diantara Puing dan Langganan Banjir Rob"

Post a Comment