1 Maret 1979, dia mengawali karir sebagai abdi negara di lingkungan, di lingkungan Kantor Wilayah Departemen Agama (Depag) Donggala, insansi vertikal ini kini disebut Kementerian Agama (Kemenag) seksi Tamaddun. Kemudian dia ditugaskan sebagai bendahara Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Cik Di Tiro, setelah itu dia dipindah ke MAN 1 Palu Jalan Jamur Kecamatan Palu Barat, juga sebagai bendara. Tugas sebaga bendahara dia emban selama 18 tahun.
Mas’amah Muftie, istri dari H Amin Syam ini mengaku jenuh dengan rutinitas, yang setiap hari berhadapan dengan benda mati, namun bukan berarti membenci tugasnya. Namun lebih karena darah seni yang mengalir deras dalam dirinya.
Tahun 2000, perempuan tiga anak yang semuanya juga berkarir sebagai pendidik ini melihat peluang untuk mengajar pelajaran sastra. Apalagi dia juga telah menyelesaikan pendidikan strata II, permohonan dirinya mendapat sambutan positif dari Kakanwil Kemenag. Dan sejak saat itu, Mas’amah aktif mengajar mata pelajaran sastra di MAN 1 Palu, tanpa harus memperoleh akta IV terlebih dahulu.
Mas’amah juga dosen mata kuliah sastra di FKIP Universitas Alkhairaat. Selain diberi amanah sebagai Wakil Dekan III, dia juga diberi tugas mengajar kelas jauh di beberapa daerah luar Kota Palu, seperti Palolo, Soulove, Watatu, Sabang hingga beberapa daerah di Pantai Timur.
Di usianya yang telah mencapai 57 tahun, Mas’amah nampak tetap bugar melaksanakan tugas mengajar untuk kelas jauh Unisa Palu, bahkan tak jarang mengendarai sendiri mobilnya.
AWAL CINTA SASTRA
Kecintaannya pada dunia seni, khusunya sastra berawal saat dia masih duduk di bangku sekolah, di SMEA Negeri Cirebon Tahun 1977. Tugas mengarang dan menulis mata pelajaran Bahasa Indonesia, serta kegemarannya menulis segala pengalamnnya dalam buku harian.
Kecintaan terhadap seni itu pula, yang memperjalankan hidupnya bertemu dengan beberapa tokoh sastrawan nasional, mulai Taufik Ismail, Zawawi Imron, Hamdy Salad, Emha Ainun Najib serta deretan satrawan nasional lainnya.
Bagi dia, ada kepuasan tersendiri bergaul dengan kalangan seniman dan budayawan. Karena dibalik penampilannya yang sering dinilai miring sebagian orang, mulai rambut gondrong, pakaian norak dan sebagainya. Namun itulah hidup dan kehidupan yang tidak dibungkus kepura-puraan.
Kecintaannya terhadap seni pula, yang menuntunnya untuk berburu buku-buku kuno di tana kaili, mengunjungi situs-situs bersejarah hingga pelosok Sulawesi Tengah, serta mengunjungi para saksi sejarah daerah ini, kala itu di tahun 90’an bersama dua kawan sesama pemerhati sejarah dan budaya, Jamrin Abu Bakar – penulis sejarah, serta almarhum Mohammad Rafiq (Mora) sastrawan sekaligus mantan Pemimpin Redaksi Mingguan Alkhairaat.
Seni dan budaya, juga mendorong dirinya untuk menjaga dan melestarikan kearifan leluhur etnis Kaili, dengan membentuk dan membina tiga sanggar seni, pertama menghimpun dan membina para pelajar MAN 1 Palu yang cinta terhadap seni – budaya dalam Bengkel Seni Suara Alam, Sanggar Seni Guru Tua Unisa, serta Sanggar Seni Lauro atau Rotan di Tatanga.
“Melalui seni, tentunya diharapkan bisa jadi pemersatu hati dan jiwa yang berserak oleh konflik, yang tidak kita ketahui apa penyebanya,” katanya.
Tidak seperti ibu-ibu rumah umumnya, yang gemar mengisi liburan dengan mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan, Mas’amah lebih suka nongkrong di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Bukan dengan alasan, disana dia bisa bertemu para seniman, sastrawan maupun budayawan, dengan harapan mendapat tambahan ilmu dan wawasan tentang kehidupan.
“Zawawi Imron yang asal Madura memiliki karakter yang keras, ceplas-ceplos, apa adanya, itu yang saya suka. Belum lagi Zamzam Nur dan Putu Wijaya yang seorang kritikus. Sampai sekarang saya masih berkomunikasi intens dengan Putu Wijaya, saya sering mengirim tulisan ke dia, kemudian saya telepon dan saya tanya. Apa sudah dibaca?, jawabnya; sudah, bahkan sudah saya remas-remas dan saya buang ke tempat sampah,” ucapnya menirukan jawaban Putu Wijaya.
Sebagai penikmat, pembaca dan penulis sastra, tahun 90’an, dia juga sempat mewakili Sulawesi Tengah pada iven-iven nasional.
DARAH
Menjalani segudang aktifitas, dalam usia yang tak lagi muda, namun Mas’amah nampak tetap enerjik, rahasianya hanya satu. Darah.
Setetes darah sangat bermanfaat sesama. Dalam lembar kertas kumal berwarna hijau, Mas’amah tercatat sebagai pendonor darah aktif sejak 1978, dan pada 13 Juni 2015 adalah yang ke-59.
“Donor Darah, didalamnya ada rasa solidaritas, sosial, kemanusian dan sekaligus kesehatan,” ucap sang maestro seni yang menguasai bahasa daerah Kaili, Jawa, Banjar, Bugis, Sunda, Bali dan Makassar ini.
tulisan ini juga dimuat di Metro Sulawesi
Mas’amah Muftie, istri dari H Amin Syam ini mengaku jenuh dengan rutinitas, yang setiap hari berhadapan dengan benda mati, namun bukan berarti membenci tugasnya. Namun lebih karena darah seni yang mengalir deras dalam dirinya.
Tahun 2000, perempuan tiga anak yang semuanya juga berkarir sebagai pendidik ini melihat peluang untuk mengajar pelajaran sastra. Apalagi dia juga telah menyelesaikan pendidikan strata II, permohonan dirinya mendapat sambutan positif dari Kakanwil Kemenag. Dan sejak saat itu, Mas’amah aktif mengajar mata pelajaran sastra di MAN 1 Palu, tanpa harus memperoleh akta IV terlebih dahulu.
Mas’amah juga dosen mata kuliah sastra di FKIP Universitas Alkhairaat. Selain diberi amanah sebagai Wakil Dekan III, dia juga diberi tugas mengajar kelas jauh di beberapa daerah luar Kota Palu, seperti Palolo, Soulove, Watatu, Sabang hingga beberapa daerah di Pantai Timur.
Di usianya yang telah mencapai 57 tahun, Mas’amah nampak tetap bugar melaksanakan tugas mengajar untuk kelas jauh Unisa Palu, bahkan tak jarang mengendarai sendiri mobilnya.
AWAL CINTA SASTRA
Kecintaannya pada dunia seni, khusunya sastra berawal saat dia masih duduk di bangku sekolah, di SMEA Negeri Cirebon Tahun 1977. Tugas mengarang dan menulis mata pelajaran Bahasa Indonesia, serta kegemarannya menulis segala pengalamnnya dalam buku harian.
Kecintaan terhadap seni itu pula, yang memperjalankan hidupnya bertemu dengan beberapa tokoh sastrawan nasional, mulai Taufik Ismail, Zawawi Imron, Hamdy Salad, Emha Ainun Najib serta deretan satrawan nasional lainnya.
Bagi dia, ada kepuasan tersendiri bergaul dengan kalangan seniman dan budayawan. Karena dibalik penampilannya yang sering dinilai miring sebagian orang, mulai rambut gondrong, pakaian norak dan sebagainya. Namun itulah hidup dan kehidupan yang tidak dibungkus kepura-puraan.
Kecintaannya terhadap seni pula, yang menuntunnya untuk berburu buku-buku kuno di tana kaili, mengunjungi situs-situs bersejarah hingga pelosok Sulawesi Tengah, serta mengunjungi para saksi sejarah daerah ini, kala itu di tahun 90’an bersama dua kawan sesama pemerhati sejarah dan budaya, Jamrin Abu Bakar – penulis sejarah, serta almarhum Mohammad Rafiq (Mora) sastrawan sekaligus mantan Pemimpin Redaksi Mingguan Alkhairaat.
Seni dan budaya, juga mendorong dirinya untuk menjaga dan melestarikan kearifan leluhur etnis Kaili, dengan membentuk dan membina tiga sanggar seni, pertama menghimpun dan membina para pelajar MAN 1 Palu yang cinta terhadap seni – budaya dalam Bengkel Seni Suara Alam, Sanggar Seni Guru Tua Unisa, serta Sanggar Seni Lauro atau Rotan di Tatanga.
“Melalui seni, tentunya diharapkan bisa jadi pemersatu hati dan jiwa yang berserak oleh konflik, yang tidak kita ketahui apa penyebanya,” katanya.
Tidak seperti ibu-ibu rumah umumnya, yang gemar mengisi liburan dengan mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan, Mas’amah lebih suka nongkrong di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Bukan dengan alasan, disana dia bisa bertemu para seniman, sastrawan maupun budayawan, dengan harapan mendapat tambahan ilmu dan wawasan tentang kehidupan.
“Zawawi Imron yang asal Madura memiliki karakter yang keras, ceplas-ceplos, apa adanya, itu yang saya suka. Belum lagi Zamzam Nur dan Putu Wijaya yang seorang kritikus. Sampai sekarang saya masih berkomunikasi intens dengan Putu Wijaya, saya sering mengirim tulisan ke dia, kemudian saya telepon dan saya tanya. Apa sudah dibaca?, jawabnya; sudah, bahkan sudah saya remas-remas dan saya buang ke tempat sampah,” ucapnya menirukan jawaban Putu Wijaya.
Sebagai penikmat, pembaca dan penulis sastra, tahun 90’an, dia juga sempat mewakili Sulawesi Tengah pada iven-iven nasional.
DARAH
Menjalani segudang aktifitas, dalam usia yang tak lagi muda, namun Mas’amah nampak tetap enerjik, rahasianya hanya satu. Darah.
Setetes darah sangat bermanfaat sesama. Dalam lembar kertas kumal berwarna hijau, Mas’amah tercatat sebagai pendonor darah aktif sejak 1978, dan pada 13 Juni 2015 adalah yang ke-59.
“Donor Darah, didalamnya ada rasa solidaritas, sosial, kemanusian dan sekaligus kesehatan,” ucap sang maestro seni yang menguasai bahasa daerah Kaili, Jawa, Banjar, Bugis, Sunda, Bali dan Makassar ini.
tulisan ini juga dimuat di Metro Sulawesi
0 Response to "Mas’amah Muftie, Pengabdian, Sastra, Darah"
Post a Comment