Taa Wana Posangke, Kegelisahan di Pedalaman Morowali Utara (2)

aginamo tau taa wana posangke
Penulis kaos biru bersama masyarakat pedalaman Tau Taa Wana Posangke
Saat tiba di rumah Apa Ugo, tempat kami menginap yang juga adik Indo Imel, saya dan Opan sempat bingung rumah-rumah di Lipu Sumbol. Pasalnya, jarak antar rumah yang kami lewati lebih dari 500 meter, itupun tidak mencapai 8 – 10 rumah.

Tapi, begitu malam menyelimuti Lipu yang dikelilingi jurang dan tebing Gunung Tokala, sejumlah pria wanita dan anak-anak telah naik ke rumah Apa Ugo, namun segera turun kembali begitu mereka mengetahui kami hendak makan malam, meski dengan senang hati kami ajak mereka turut serta menikmati menu yang disiapkan Murni, Indo Imel dan Kiki, mereka tetap memilih menunggu di luar.
Usai kami makan, satu persatu warga Lipu Sumbol kembali masuk ke dalam rumah. Mereka nampak akrab dengan Koordinator Skola Lipu Yayasan Merah Putih (YMP) Abdul Ghofur dan juga manajer kantor lapangan YMP Morowali Utara, Supardi Lamasing. Wajar, karena kedua aktifis lingkungan tersebut telah berinteraksi dengan mereka sejak tahun 2011.

Bahkan, Abdul Ghofur atau yang dipanggil  orang Wana Posangke Apa Pram, mencampur komunikasi verbaldengan bahasa Taa. Pun pula dengan Supardi Lamasing atau Apa Gading. Kedua orang ini nampak lekat dengan kehidupan orang Taa Wana Posangke.

Kini kami berkumpul, membentuk lingkaran dalam rumah panggung sederhana itu, diterangi cahaya lampu modifikasi alat strum ikan, bukan lagi lentera minyak.

Selanjutnya, Apa Gading mempersilahkan Kiki Rizki Amelia yang telah dipanggil mereka dengan Indo Ghazi, untuk membuka ramah tamah itu untuk menyampaikan maksud dan tujuan kunjungan itu ke lipu-lipu di Posangke.

Sayangnya, warga Lipu Sumbol nampak malu-malu untuk memperkenalkan diri mereka. Tiba giliran saya dan Opan, Indo Imel menanyakan nama anak pertama saya dan Opan, setelah kami sebutkan nama-nama anak kami. Sejak saat itulah, panggilan saya Apa Azzam, dan Opan menjadi Apa Cesar.
Dari situ kami mengetahui, panggilan seseorang yang telah menikah dan telah memiliki anak, dilekatkan dengan nama anak pertama, Apa atau bapak dan Indo untuk ibu.

**
Sesaat kemudian, Apa Ugo meletakkan dua botol bekas kecap, berisi air berwarna putih keruh, mereka menyebutnya Pongas, yang merupakan air fermentasi tape ketan ladang. Aroma tape cukup kuat tercium dari botol itu, sedikitpun tak tercium aroma minuman beralkohol, itulah menggodaku untuk mengicip.  

 Cuaca dingin membuat Pongas itu layaknya saya makan tape, dan ternyata Pongas merupakan minuman tradisional yang sering disamakan dengan minuman berarkohol lainnya.

**
Obrolan kian akrab, panjang dan melebar, tawa lepas dari mereka cukup menghibur perjalanan nan panjang dan melelahkan kami.

“Dulu...satu tahun panen padi ladang kami bisa dapat seratus ikat, sekarang hanya bisa dapat 40 ikat, itu masalah kami,” tanya Apa Ester.

Pertanyaan itu jadi pembuka diskusi cukup panjang antara kami dengan mereka, ada kegelisahan dari mereka dengan hasil panen mereka yang menurun drastis. Tapi, menurut Apa Gading dan Apa Pram, memang kemarau panjang di tahun 2015 sangat berpengaruh terhadap hasil panen padi ladang mereka, yang hanya mengandalkan air hujan.

Namun, jika diperhatikan dari tumpukan botol-potol pestisida pembunuh rumput, menunjukkan bahwa lahan dan cara bertani mereka telah tersentuh pola bertani masyarakat luar.

“Ya, memang sekarang ini kami sudah banyak yang terpengaruh dengan hal-hal dari luar, padahal kami sendiri belum mengerti akibat dari menggunakan racun rumput itu,” kata Indo Imel.

Setelah melalui diskusi panjang tentang pertanian mereka, selain seolah mereka sadar, jika sebenarnya mereka memiliki cara yang jauh lebih bagus untuk menjaga kondisi tanah pertanian mereka.


Mereka juga mulai berpikir, bahwa segala yang nampak bagus diluar itu tidak semuanya bagus untuk mereka. Termasuk dengan keinginan dan permintaan orang Taa Wana Posangke ke YMP untuk menolong mereka dalam hal tulis menulis, hingga berdirilah Skola Lipu. Bagaimana? (bersambung)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Taa Wana Posangke, Kegelisahan di Pedalaman Morowali Utara (2)"

Post a Comment