Nasib Sungai di Kota Palu

aginamo
Pada suatu kegiatan yang diselenggerakan Pusat Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di Jakarta September 2014 lalu. Peserta yang berjumlah 17 orang, jurnalis dari berbagai daerah, oleh panitia dibagi menjadi empat kelompok, dan saya masuk dalam kelompok pertama.

Panitia, membawa kelompok kami berkunjung ke Komunitas Ciliwung Condet (KCC) atau Ciliwung Institute yang didirikan oleh seorang pegiat lingkungan, Abdul Kodir, yang lahir dan besar di kawasan tersebut.

Kalimat yang saya garis bawahi dari Bang Kodir, begitu pria kurus dengan pembawaan kalem biasa dipanggil adalah;

“Kalau harga BBM (bahan bakar minyak ) naik, rakyat pada ribu, tapi sekarang ini kita air minum saja sudah beli, dan kita dia saja, kita tidak menyadari itu, bahwa kebutuhan hidup yang jauh lebih vital itu kita sudah susah,” ucapnya waktu itu.

Meski selanjutnya Bang Kodir  lebih bercerita pada kondisi Sungai Ciliwung, yang telah kehilangan berbagai habitat dan hewan endemik setempat. Namun, sebenarnya dia ingin menyampaikan betapa pentingnya menjaga sungai dari pencemaran.

"Padahal, di wilayah Condet sendiri, sejak tahun 1974 dan 1975, pada pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, wikayah Balekambang, Kampung Tengah, dan Batu Ampar, Condet, ditetapkan sebagai wilayah Cagar Budaya dan Budi Daya Tanaman Lokal," kata Kodir.

Seperti, tambahnya, yang tercantum dalam Putusan Provinsi DKI Jakarta Nomor D-IV-1511/e/3/1974, tanggal 30 April 1974, tentang Penetapan Condet sebagai pengembangan kawasan Budaya Betawi.

**
aginamo

Jika kita perhatikan, sungai-sungai di palu, telah berubah jadi beberapa fungsi, di beberapa titik telah tumbuh aneka tanaman seperti singkong dan pisang, namun umumnya sungai-sungai kita telah menjadi tempat pembuangan sampah (TPS).

Yang jika turun hujan besar, tidak hanya menghantarkan sampah-sampah itu ke muara sungai gumbasa, kemudian dilanjutkan ke Pantai Teluk Palu. Namun, seperti yang terjadi sekitar tahun 2013, saat turun hujan cukup deras, air menerjang sejumlah permukiman di Anoa II, dan juga sejumlah rumah permukiman di Sisingamangaraja.

 Sampah, jadi perhatian khusus Pemkot Palu, hingga menelorkan Program Padat Karya yang mempekerjakan 5000 orang untuk membersihkan sampah yang katanya berstatus miskin, dengan frekuensi kerja 3 jam per hari, melibatkan 143 pengawas, di 46 kelurahan dari 8 kecamatan, dengan gaji perbulan sebesar Rp600 ribu, dipotong kepesertaan BPJS ketegakerjaan sebesar Rp 50 ribu.

Dalam setahun, program yang masuk dalam Zero Poverty 2015 ini menghabiskan dana sekitar Rp 3milliar per bulan, atau sekitar Rp36 milliar per tahun, yang berjalan sejak tahun 2014.
Pada debat kandidat Pilgub serentak putaran pertama baru-baru ini, persoalan sampah sempat disinggung Cawagub Sudarto, karena dengan dana sebesar itu, ternyata Palu belum sampah, dan seolah tak mengenal tempat khusus, tempat pembuangan sampah tetap tersebar dimana-mana, baik permukiman kalangan ekonomi menengah maupun mewah, apalagi sungai-sungai kita.

Kebersihan sungai belum menjadi pembahasan seksi oleh publik, apalagi para kandidat Pilkada. Kecuali pembuatan jalan di bantaran sungai Gumbasa, yang konon hendak dimaksimalkan sebagai kawasan hijau, namun dengan tanpa program, apalagi pengawasan, sejumlah titik pinggiran sungai Gumbasa juga jadi tempat pembuangan sampah.

Sungai juga belum jadi isu seksi untuk sekedar dilirik, sehingga nampak anggun nan elok, dan tentunya tidak akan mendukung kemarahan alam saat hujan mengguyur kota ini. Mungkin, seperti biasa, sungai baru akan disapa dengan sentuhan program, ketika terjadi peristiwa alam, mungkin jika setelah turun korban harta, benda bahkan nyawa.

Mari kita tengok sungai kita. **

tulisan ini juga diposting di metro sulawesi


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nasib Sungai di Kota Palu"

Post a Comment